Rabu, 11 April 2018

Bilangan Fu byAyu Utami

Bilangan Fu byAyu Utami

Sinopsis;
Taruhan. Kau pasTi enggan percaya jika kubilang padaku ada sebuah stoples selai berisi sepotong ruas kelingking. Kudapat dari menang bertaruh. Aku tidak gandrung pada benda itu: botol gelas berisi buku berkuku yang mengapung di air formalin. Pacarku Marja membencinya sampai ia pergi. Katanya, kaca tebal dan cembung membuat efek akuarium. Kelingking itu jadi tampak bagai seekor balakutak. Kukunya yang ungu adalah mata memar, memergokinya setiap kali dia melirik ke sana. Kubilang, kalau takut ya jangan kau menoleh kepadanya. Aku sendiri menikmati kelingking itu sebagai salah satu koleksi benda yang kudapat dari menang taruhan.
Pada dinding kamar kosku ada sebuah almari. Kupersembahkan untuk menampung kenangkenangan, cenderamata menang taruhan. Isinya kebanyakan barang tak berharga. Kelingking itu, misalnya, tak ada gunanya bagiku. Di sebelahnya telah kutata pula sebilah iga manusia, melengkung bagai pedang, dengan satu pasak salib nisan terbuat dari granit hitam. Meski kasihku akhirnya pergi juga, sesungguhnya tiga bendaitu sajalah yang membikin dia jeri. Sisa koleksi tidak membuat aku tampak seperti manusia gothik. Aku bukan karakter dari cerita Alfred Hitchcock yang telah klasik. Aku hanya manusia yang mengabdi pada hobiku. Aku adalah seorang pemanjat dan petaruh. Begitu saja.
Ruas kelingking berkuku belah itu milik si Fulan, temanku, sesama pemanjat tebing dulu. Tidak, aku tidak mendapatkannya dengan memotong jarinya pada talenan sebab ia kalah taruhan. Aku bukan psikopat. Kami sedang memanjat di Citatah, barisan tebing gamping di tepi kota Bandung, ketika tiba-tiba sebongkah batu rumpal. Sekepala manusia besarnya. Aku sedang memanjat, sementara Fulan berada di kaki gawir. Ia Sedang kena giliran tugas sebagai juru masak. Aku berani bertaruh batu itu gumpil sendiri dari sarangnya lima meter di atas kepalaku. Bukan aku yang menyebabkan. Aku menjerit anjing Ketika ia melayang melampaui kepalaku. Segera kutahu bahwa kawan-kawanku di dekat tenda ada dalam bahaya. Batu itu telah bertambah kecepatan pula manakala tiba di tanah kelak.
Sedetik kemudian kudengar di bawah ada yang meraung jalang. Suaranya gaduh anjing dibunuh. Posisiku terhalang ganjur tebing untuk melihat apa yang terjadi. Kami berusaha secepat mungkin untuk turun, meluncur dengan kait delapan bergantian. Sampai di tanah kulihat Fulan telah dibaringkan pada tandu, yang sedang dinaikkan ke dalam Landrover kuning tua yang kudapat dari beberapa kali menang judi sabung ayam. Tak kulihat luka pada sekujur tubuhnya. Hanya kulihat kelingkingnya berdarah parah. Tepatnya, hanya kulihat seluruh bidang telapak tangannya berwarna merah, pekat mengilap. Sebelum mobil menyala, kawanku yang lain terdengar Menghardik kepadaku. “Yuda! Kau carikan potongan kelingkingnya sebelum gelap!”
Tentu akan kucari sampai mati, sebagai kesetiakawanan yang masih bisa kusumbangkan. curinya. Aku menemukan ruas jari itu, terserak di tepi semak-semak, dekat kompor bensin yang terguling. Ia melenting tak jauh dari ceceran darah. Prioritas membuat teman-temanku tak melihatnya tadi. Kubuntal kelingking malang itu dengan bandana yang semula mengikat kepalaku. Segera aku menyusul ke rumah sakit dengan ojeg. Supirnya kuancam agar ngebut. Tancap gas, atau motormu kurebut. Tiba di sana, kulihat dokter sedang mengobras kelingking yang buntung. Aku terlambat. Dengan segala sesal dan prihatin aku meledak, “Stop dokter! Ini, saya temukan kelingking itu! Ayo sambung!” Dalam kalut kubuka bungkusan dan kuacungkan ruas sepetilan lengkuas. Tapi semua mata memandang ke arahku dalam diam, ke-padaku dan kepada jari yang kuajukan, bagai sepuluh menit lamanya. Aku merasa menjadi gerakan ganjil dalam film yang dibekukan. Lalu kulihat dokter itu menggelengkan kepala, pelan. “Percuma. Sudah putus. Tidak bisa disambung,” ujarnya dingin.
Ketika suasana telah tenang, kulihat di tatapan Fulan ada magma yang terarah padaku. Ia duduk di kursi tunggu ruang gawat darurat sekarang. Bibirnya mengatup tegang dan matanya menyorotkan api. Rambutnya ular berbisa. Apa salahku? Bukan aku yang meruntuhkan batu. Lagi pula, kalau bongkah itu rumpal karena aku, kami semua tahu bahwa kecelakaan yang diakibatnya tak bisa disalahkan pada siapa-pun. Itulah kebersamaan kami. Batu jatuh bisa terjadi setiap saat. Bagian dari risiko petualangan. “Yuda…” Ia menyebut namaku, tapi aku yakin kudengar bunyi desis di akhir ucapnya. Yudas. Engkau Yudas, si pengkhianat. Aku memegang stoples berisi kelingking yang telah tanpa pamrih kuperjuangkan sampai di sini. Suster berpantat montok itu telah mengemasnya buat kami. Tapi dokter itulah yang

Detail Buku:
Judul         : Bilangan Fu
Penulis      : Ayu Utami
Penerbit    : Gramedia Pustaka Utama
ISBN           : 978 - 979 - 91 - 0122- 8
Tebal         : 537 Hal
Download : Google Drive

Tidak ada komentar:

Posting Komentar