Sinopsis;
Taruhan. Kau pasTi
enggan percaya jika kubilang padaku ada sebuah stoples selai berisi sepotong
ruas kelingking. Kudapat dari menang bertaruh. Aku tidak gandrung pada benda
itu: botol gelas berisi buku
berkuku yang mengapung di air formalin. Pacarku Marja membencinya sampai ia
pergi. Katanya, kaca tebal dan cembung membuat efek akuarium. Kelingking itu
jadi tampak bagai seekor balakutak. Kukunya yang ungu adalah mata memar,
memergokinya setiap kali dia melirik ke sana. Kubilang, kalau takut ya jangan
kau menoleh kepadanya. Aku sendiri menikmati kelingking itu sebagai salah satu
koleksi benda yang kudapat dari menang taruhan.
Pada dinding kamar kosku
ada sebuah almari. Kupersembahkan untuk menampung kenangkenangan, cenderamata menang
taruhan. Isinya kebanyakan barang tak berharga. Kelingking itu, misalnya, tak
ada gunanya bagiku. Di sebelahnya telah kutata pula sebilah iga manusia,
melengkung bagai pedang, dengan satu pasak salib nisan terbuat dari granit
hitam. Meski kasihku akhirnya pergi juga, sesungguhnya tiga bendaitu sajalah
yang membikin dia jeri. Sisa koleksi tidak membuat aku tampak seperti manusia
gothik. Aku bukan karakter dari cerita Alfred Hitchcock yang telah klasik. Aku
hanya manusia yang mengabdi pada hobiku. Aku adalah seorang pemanjat dan petaruh.
Begitu saja.
Ruas kelingking berkuku
belah itu milik si Fulan, temanku, sesama pemanjat tebing dulu. Tidak, aku
tidak mendapatkannya dengan memotong jarinya pada talenan sebab ia kalah
taruhan. Aku bukan psikopat. Kami sedang memanjat di Citatah, barisan tebing
gamping di tepi kota Bandung, ketika tiba-tiba sebongkah batu rumpal. Sekepala
manusia besarnya. Aku sedang memanjat, sementara Fulan berada di kaki gawir. Ia
Sedang kena giliran tugas sebagai juru masak. Aku berani bertaruh batu itu gumpil
sendiri dari sarangnya lima meter di atas kepalaku. Bukan aku yang menyebabkan.
Aku menjerit anjing Ketika ia melayang melampaui kepalaku. Segera kutahu bahwa kawan-kawanku
di dekat tenda ada dalam bahaya. Batu itu telah bertambah kecepatan pula manakala
tiba di tanah kelak.
Sedetik kemudian
kudengar di bawah ada yang meraung jalang. Suaranya gaduh anjing dibunuh.
Posisiku terhalang ganjur tebing untuk melihat apa yang terjadi. Kami berusaha secepat
mungkin untuk turun, meluncur dengan kait delapan bergantian. Sampai di tanah
kulihat Fulan telah dibaringkan pada tandu, yang sedang dinaikkan ke dalam
Landrover kuning tua yang kudapat dari beberapa kali menang judi sabung ayam.
Tak kulihat luka pada sekujur tubuhnya. Hanya kulihat kelingkingnya berdarah
parah. Tepatnya, hanya kulihat seluruh bidang telapak tangannya berwarna merah,
pekat mengilap. Sebelum mobil menyala, kawanku yang lain terdengar Menghardik kepadaku.
“Yuda! Kau carikan potongan kelingkingnya sebelum gelap!”
Tentu akan kucari sampai
mati, sebagai kesetiakawanan yang masih bisa kusumbangkan. curinya. Aku
menemukan ruas jari itu, terserak di tepi semak-semak, dekat kompor bensin yang
terguling. Ia melenting tak jauh dari ceceran darah. Prioritas membuat
teman-temanku tak melihatnya tadi. Kubuntal kelingking malang itu dengan
bandana yang semula mengikat kepalaku. Segera aku menyusul ke rumah sakit
dengan ojeg. Supirnya kuancam agar ngebut. Tancap gas, atau motormu kurebut.
Tiba di sana, kulihat dokter sedang mengobras kelingking yang buntung. Aku
terlambat. Dengan segala sesal dan prihatin aku meledak, “Stop dokter! Ini,
saya temukan kelingking itu! Ayo sambung!” Dalam kalut kubuka bungkusan dan
kuacungkan ruas sepetilan lengkuas. Tapi semua mata memandang ke arahku dalam
diam, ke-padaku dan kepada jari yang kuajukan, bagai sepuluh menit lamanya. Aku
merasa menjadi gerakan ganjil dalam film yang dibekukan. Lalu kulihat dokter itu
menggelengkan kepala, pelan. “Percuma. Sudah putus. Tidak bisa disambung,”
ujarnya dingin.
Ketika suasana telah tenang,
kulihat di tatapan Fulan ada magma yang terarah padaku. Ia duduk di kursi
tunggu ruang gawat darurat sekarang. Bibirnya mengatup tegang dan matanya
menyorotkan api. Rambutnya ular berbisa. Apa salahku? Bukan aku yang
meruntuhkan batu. Lagi pula, kalau bongkah itu rumpal karena aku, kami semua
tahu bahwa kecelakaan yang diakibatnya tak bisa disalahkan pada siapa-pun.
Itulah kebersamaan kami. Batu jatuh bisa terjadi setiap saat. Bagian dari
risiko petualangan. “Yuda…” Ia menyebut namaku, tapi aku yakin kudengar bunyi
desis di akhir ucapnya. Yudas. Engkau Yudas, si pengkhianat. Aku memegang stoples
berisi kelingking yang telah tanpa pamrih kuperjuangkan sampai di sini. Suster
berpantat montok itu telah mengemasnya buat kami. Tapi dokter itulah yang
Detail Buku:
Judul : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978 - 979 - 91 - 0122- 8
Tebal : 537 Hal
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978 - 979 - 91 - 0122- 8
Tebal : 537 Hal
Download : Google Drive
Tidak ada komentar:
Posting Komentar