Tak Pernah Mati Muhammad senantiasa hadir kembali. Muhammad senantiasa
lahir dan lahir kembali: memunculkan “diri”-nya dalam setiap konteks pemikiran,
manifestasi peradaban dan kebudayaan, serta dalam setiap produk dan ungkapan
kemajuan. Muhammad tidak pernah mati, kecuali darah daging dan tulang belulangnya
telah manunggal dengan tanah. Badan Muhammad telah ber-tauhid dengan hakikatnya, yakni tanah
itu. Muhammad yang hidup sekarang bukan lagi jasmani itu, karena telah
ditransformasikan ke dalam wujud-wujud yang lebih lembut dan hakiki. Setiap
transformasi selalu berlangsung dengan pengurangan, penambahan, perubahan, dan
pergeseran. Darah daging Muhammad tidak terbawa sampai kepada kita sekarang,
apalagi ke Negeri Allah yang hakiki kelak. Muhammad yang abadi, yang mengabadi,
atau yang menjadi keabadian, dan hari-hari ini melintasi kehidupan kita terbuat
dari segala yang dilakukannya semasa jasmaninya hidup. Wajah Muhammad kini terdiri
dari seluruh nilai perilakunya dulu. Cahaya wajah itu terbuat dari sujud-sujud
sembahyangnya. Badannya terbikin dari amal bajik selama terlibat menghancurkan kebudayaan
Jahiliyah. Kaki dan tangannya dirakit dari pahala dan jasa sosial yang kelak
menolongnya memperoleh tempat paling khusus di Surga Jannatunna‘im.
Baca juga
- Surat-Surat dari Balik Jeruji by Zeng Wei Jian
- Sweetly Broken by Dadan Erlangga
- Takbir Cinta Zahrana by Habiburrahman El-Shirazy
Demikian juga kita kelak. Daging kita akan rapuh, kulit mengeriput, rambut memutih, dan seluruh badan kita akan musnah menjadi debu material yang hina. “Badan” dan identitas kita selanjutnya dibentuk oleh sistem assembling dari pilihan-pilihan kelakuan kita, dari kepribadian dan sikap sosial kita, dari barang-barang yang kita amalkan atau kita korup, dari segala sesuatu yang kita Islamkan atau kita curi. Teologi Islam telah memandu kita bagaimana memilih assembling diri masa depan yang terbaik dan termulia. Filosofi Islam membimbing kita untuk merancang jenis kemakhlukan macam
apa kita akan men jadi kelak. Dan kosmologi Islam memberi pilihan kepada kita, apakah kita
akan merekayasa diri menjadi benda setingkat debu, menjadi energi yang
gentayangan jadi hantu dan klenik, atau menjadi api dan kayu bakar penyiksa
diri sendiri, atau alhamdulillah kita lulus menempuh transformasi dari materi
ke energi ke cahaya. Jika kita menjadi cahaya karena bersih dari tindak korupsi
ekonomi, penindasan politik, kecurangan sosial, penyelewengan hokum serta
maksiat kebudayaan maka insya Allah itulah yang bernama tauhid. Menyatu dengan
Allah: Allâh nûrussamâwâti walardh. Allah itu cahaya langit dan bumi. Bukan
Allah mencahayai atau menyinari langit dan bumi.
Detail Buku:
Judul : Surat Kepada KanjengNabi
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : PT Mizan Pustaka
ISBN : 978-979-433-888-9
Tebal : -
ISBN : 978-979-433-888-9
Tebal : -
Itulah sekelumit sinospis yang diangkat dalam
novel “ Surat Kepada Kanjeng Nabi “, karya terbaru Emha Ainun Nadjib. Untuk mendownload novel “ Surat Kepada Kanjeng Nabi “ karya Emha Ainun Nadjib silahkan klik di sini.
Terima kasih telah membaca
“ Surat Kepada Kanjeng Nabi “, untuk
ebook, buku, novel dan karya menarik yang lainnya, silahkan kunjungi di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar