”ROMO boleh memercayakan Maria pada kami,” kata Suster Cecilia tegas.
”Pada tahun sembilan puluhan ini, sekolah kami termasuk satu di antara sedikit
SMA putri yang tidak memiliki siswa putra. Guru dan pegawai tata usahanya pun
wanita semua.” ”Saya percaya ini sekolah yang baik,” sahut Pak Handoyo puas.
”Saya dengar sepuluh tahun di bawah pimpinan Suster Cecilia, tidak pernah ada
skandal di sekolah ini. Tapi tolong, Suster, jangan panggil saya Romo. Saya
sudah bukan seorang pastor lagi.” ”Maaf,” tidak ada nada mengejek dalam senyum Suster
Cecilia. Senyumnya begitu tulus. ”Dalam pakaian apa pun, Pak Handoyo tidak
berubah. Apalagi jenggot itu masih melekat di sana. Saya seperti melihat Pak
Handoyo mengenakan jubah putih, mengajar kami para calon biarawati dua puluh
tahun yang lalu.” Pak Handoyo menghela napas panjang. Sekilas Suster Cecilia
melihat wajahnya mengerut sedih. ”Saya tidak ingin sejarah hitam hidup saya
menimpa Maria juga,” katanya perlahan. ”Selama ini saya didik Maria di rumah. Homeschooling. Suster lihat sendiri, nilainilainya tidak mengecewakan.” ”Nilainya memang
gemilang. Maria pasti murid yang rajin dan pandai.” ”Sebenarnya Ende lebih
cocok untuk Maria. Tapi aya ingin dia menjadi biarawati setelah lulus SMA. Saya
ingin dia bisa menggantikan ibunya, menyerahkan dirinya untuk Tuhan di biara
ini.” ”Keinginan yang luhur sekali,” gumam Suster Cecilia sambil mengerutkan
dahi. ”Tapi apa Bapak tidak lupa menanyakan kehendak Maria sendiri?” ”Begitu
dia lahir, saya telah menyerahkannya kepada Tuhan,” sahut Pak Handoyo tegas.
”Barangkali dengan demikian, saya dapat mohon ampun pada Kristus karena telah
mencuri mempelaiNya.” Suster Cecilia tertegun. Tatapannya beralih kepada gadis
remaja yang sedang duduk di samping Pak Handoyo dengan kepala tertunduk dalam.
Sejak tadi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Jangankan bicara, mengangkat
mukanya saja tidak pernah. Penampilannya teramat sederhana.
Baca juga
- Orang-orang Proyek by Ahmad Tohari
- Panca Azimat Revolusi Jilid I by Iwan Siswo
- Pasung Jiwa by Okky Madasari
Wajahnya tidak jelek. Tapi menampilkan kesan duka. Tertekan. Depresi. Matanya
yang redup dan selalu bersorot resah, dibingkai kacamata yang minta ampun
kunonya. Sama purbanya dengan sepatu kets putih yang dipakainya. Sementara
rambutnya yang panjang sampai ke pinggang, dijalin dua begitu saja. Sikapnya
rikuh. Serbasalah. Seolah-olah dia takut menggaruk hidungnya saja sudah
melanggar hukum. Dia melangkah seperti dayang di belakang ayahnya. Langkahnya
tertatih-tatih. Kepalanya tertunduk seperti mencari kutu di lantai. Dan semua
gerakannya serba gugup. Lebih-lebih ketika Suster Cecilia membawanya ke kelas.
Memperkenalkannya kepada teman-temannya. Mereka semua melotot seperti melihat
hantu. ”Gile!” cetus Nurul heran. Tentu saja dengan berbisik kepada teman
sebangkunya. ”Monster dari planet mana tuh?” ”Suster harap kalian bisa menjadi
teman yang baik untuk Maria. Ingat, dia berbeda. Dia calon biarawati.” ”Hah?”
hampir separuh isi kelas mendengus kaget. ”Pantesan tampangnya antik!” bisik
Tina. Suster Cecilia menepuk bahu Maria dengan lembut. ”Duduklah, Maria. Itu
ada bangku kosong di sebelah Endang.” Maria menoleh sekilas dengan ragu-ragu ke
arah ayahnya. Ketika ayahnya mengangguk dengan mantap, dia baru berjalan
terseok-seok menuju bangku yang ditunjukkan Suster Cecilia.
Detail Buku:
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978 – 979 – 22 – 5196 – 8
Tebal : 192 hlm
ISBN : 978 – 979 – 22 – 5196 – 8
Tebal : 192 hlm
Itulah sekelumit sinospis yang diangkat dalam
novel “ Merpati Tak Pernah Ingkar Janji “, karya terbaru Mira W.. Untuk mendownload novel “
Merpati Tak Pernah Ingkar Janji “ karya Mira W. silahkan klik di sini.
Terima kasih telah membaca
“ Merpati Tak Pernah Ingkar Janji “,
untuk ebook, buku, novel dan karya menarik yang lainnya, silahkan kunjungi di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar