Ruangan besar yang disulap menjadi arena pertarungan itu terlihat ramai.
Seruan tertahan, suara mengaduh, suara tepisan, bunyi berdebuk, terbanting,
teriakan menyemangati, hingga teriakan bersahut-sahutan memenuhi langit-langit
ruangan. Satu-dua berseru dalam bahasa yang tidak dipahami bahkan oleh orang
yang berdiri di sebelahnya. Wajah-wajah dan perawakan antarbangsa, wajah-wajah
antusias bercampur tegang. Udara terasa pengap meski pendingin ruangan bekerja
maksimal. Dua petarung sedang jual-beli pukulan di tengah ruangan, bertinju.
Arena pertandingan tanpa ring pemisah apalagi kerangkeng tertutup. Hanya
lingkaran merah di atas lantai, berdiameter dua depa. Percik keringat petarung,
dengus napas, suara pukulan menghantam badan, semuanya terdengar langsung, tanpa
jarak. Penonton berkerumun di sekitar lingkaran, berdesak-desakan,
dan berdiri menonton. Tangan mereka terangkat menyemangati. Ini jenis
pertunjukan yang mengesankan. Satu tinju lagi menghantam cepat rahang salah
seorang petarung. Membuat penonton berseru tertahan, sebagian besar berseru girang, ”Yes!”
Sebagian mengeluh, ”Oh, no!” Disusul tinju lainnya mengenai dagu, kali ini
lebih telak. Sepersekian detik berlalu, penantang yang beberapa menit lalu
masih terlihat segar bugar segera tumbang ke lantai. Knockout alias
KO.Pengunjung serempak berteriak kegirangan, melontarkan kebisingan. Napas
petarung satunya, yang masih berdiri kokoh di tengah arena, bahkan tidak
terlihat tersengal. Hanya kausnya yang sedikit basah oleh keringat. ”Fantastico!” ”Bravo!” Aku
menelan ludah, melirik jam besar di tiang ruangan. Hanya dua menit lima belas
detik lawan pertamanya dibuat tersungkur. ”Kau tidak akan berubah pikiran,
bukan?” Sebuah tangan menyikut lenganku, berkata kencang, berusaha mengalahkan
bising.
Baca juga
- 150 Kisah Abu Bakar Al-Shiddiq by Ahmad 'Abdul 'AlAl-Thahthawi
- 150 Kisah Ali ibn Abi Thalib by Ahmad 'Abdul 'AlAl-Thahthawi
- 150 Kisah Umar Ibn Al-Khaththab by Ahmad 'Abdul 'AlAl-Thahthawi
Aku menoleh, menatap wajah menyebalkan di sebelahku. ”Maksudku, jika kau mau, aku masih bisa membatalkan pertarungan. Aku bisa pergi ke mereka, mengarang-ngarang alasan. Kau sakit perut misalnya. Atau asmamu kambuh, mag kronis.” Theo mengangkat bahu, menunjuk salah satu sudut kerumunan, tempat beberapa anggota klub petarung yang bertindak sebagai inspektur pertandingan malam ini. ”Aku tidak akan membatalkan pertarungan,” aku menyergah Theo, memotong
kalimatnya, ”simpan omong kosongmu!” Theo tertawa ringan, menyeka peluh di
pelipis. Salah satu inspektur pertandingan meraih pengeras suara. Dia mengenakan
pakaian kerja seperti kebanyakan pengunjung lain hanya kemejanya terlihat
berantakan, keluar dari celana, lengan dilipat, dan dasi entah tersumpal di
mana. Dengan bahasa Inggris bercampur Portugis yang sama fasihnya, dia berseru tentang
pertarungan yang baru saja selesai. ”Luar biasa. Pertarungan yang luar biasa,
ladies and gentlemen. Well, simpan teriakan kalian. Pertarungan kedua akan
segera tiba. Kami sudah menyiapkan sang penantang lokal yang telah menunggu
giliran bertarung sejak enam bulan.” Wajah inspektur antusias, juga keramaian
di ruangan. ”Jangan lupa, seperti yang kami sebutkan pada awal pertemuan malam
ini, kami telah menyiapkan kejutan besar di pertarungan terakhir, ladies and
gentlemen.
Detail Buku:
Judul : Negeri Di Ujung Tanduk
Penulis : Tere Liye
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978 - 979 - 22 - 9429 - 3
Tebal : 360 hlm
ISBN : 978 - 979 - 22 - 9429 - 3
Tebal : 360 hlm
Itulah sekelumit sinospis yang diangkat dalam
novel “ Negeri Di Ujung Tanduk “, karya terbaru Tere Liye. Untuk mendownload novel “
Negeri Di Ujung Tanduk “ karya Tere Liye silahkan klik di sini.
Terima kasih telah membaca
“ Negeri Di Ujung Tanduk “, untuk ebook,
buku, novel dan karya menarik yang lainnya, silahkan kunjungi di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar