PUKUL satu siang Hujan turun deras di luar. Suara petir terdengar
susul menyusul, angin kencang berkesiur. Udara terasa lembap dan dingin. Namun,
itu tidak menyurutkan suasana. Aula sekolah yang seminggu terakhir menjadi
tempat pertandingan basket riuh rendah oleh teriakan penonton. Suara tepuk
tangan, seruan tertahan, dan sorakan semangat terdengar di sekelilingku. Bahkan
Seli, yang biasanya kalem urusan begini, juga ikut berseru-seru, sambil
tangannya tak berhenti memukulkan balon tepuk alat suporter yang terbuat dari balon
panjang, seperti pentungan yang mengeluarkan suara berisik itu Aku menatap
keramaian. Semua kursi di pinggir lapangan penuh sesak, lebih banyak yang
berdiri. Tidak ada sudut aula yang kosong. Semua dipenuhi murid dari sekolah
kami dan dari sekolah-sekolah lain. Menariknya, seruan penonton semakin kencang
setiap kali Ali menyentuh bola. Ali? Iya, si biang kerok itu. Dia menjadi pusat perhatian di lapangan
basket. Aku mengusap wajah, tetap belum terbiasa menatap Ali yang lincah
berkelit mendribel bola di lapangan. Dia lihai melewati dua lawan seperti
pemain profesional (penonton berteriak), juga dua lawan berikutnya lagi
(teriakan semakin kencang), kemudian tanpa terkawal, penuh gaya Ali lompat
menembak ke keranjang Gerakan tangannya begitu dramatis, bola melengkung.
Masuk! Kupingku seperti pekak oleh teriakan histeris fans Ali ketika bola
basket menembus keranjang. Satu-dua penonton meniup terompet kegirangan,
menyambut poin tambahan dari Ali. Aku menelan ludah. Ini pemandangan yang musykil
mungkin bisa masuk keajaiban dunia nomor delapan. Entah bagaimana caranya, si
biang kerok, tukang cari ribut, yang pakaiannya selalu kusut, rambut
berantakan, sering diusir guru dari kelas karena tidak mengerjakan PR, bertengkar,
tidak punya teman (kecuali aku dan Seli), seminggu terakhir mendadak menjadi murid
paling populer di sekolah. Semua orang meneriakkan namanya.
Baca juga
- Di Bawah Menara Fatimiah by Dany Novery
- Everything I Do by Anjar Anastasia
- Falling Star by Christina Tirta
Ali, Ali, dan Ali! Lihatlah, di tengah lapangan, Ali sudah mengangkat
tangannya tinggi-tinggi, tertawa lebar, membalas teriakan fansnya yang semakin
gila berseru-seru termasuk Seli di sebelahku. Aku menyikut lengan Seli. ”Eh,
kenapa, Ra?” Seli menoleh. Aku melotot, menahan kesal, sambil memperbaiki anak rambut
di dahi. Salah satu balon tepuk yang dipegang Seli tidak sengaja mengenai
kepalaku. ”Lihat-lihat dong, tidak usah berlebihanlah...” Seli tertawa melihat
ekspresi wajahku. ”Maaf,” ujarnya singkat, kemudian dia melanjutkan memukul
balon tepuk bersama yang lain. Tim basket sekolah kami semakin jauh
meninggalkan lawan. Poin sementara 42-18, dengan Ali, lagi-lagi menjadi bintang pertandingan. Minggu-minggu ini, di pertengahan semester, setiap hari Sabtu
dan Minggu, OSIS sekolah kami mengadakan kompetisi pertandingan basket
antar-SMA seluruh kota. Kompetisi ini rutin diadakan setiap tahun, salah satu
kompetisi prestisius dengan banyak sponsor dan liputan media. Hampir semua
sekolah di kota kami berpartisipasi mengirimkan tim. Hari ini sudah masuk
pertandingan semifinal dan final. Tim basket sekolah kami salah satu di antara
empat tim terbaik setelah sepuluh tahun terakhir selalu tersingkir di babak
penyisihan Lagi-lagi, itu semua karena
Ali Sebulan lalu, aku masih ingat sekali saat Ali bilang dia berhasil bergabung
dengan tim basket. ”Tidak mungkin!” Aku mendesis tidak percaya. Kecuali kalau Ali
disuruh jadi tukang pel lapangan, atau mencuci seragam tim, itu baru masuk
akal.
Detail Buku:
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978- 602 - 03 - 3211 - 6
Tebal : 400 hlm
ISBN : 978- 602 - 03 - 3211 - 6
Tebal : 400 hlm
Itulah sekelumit sinospis yang diangkat dalam novel “ Matahari “, karya
terbaru Tere Liye. Untuk mendownload novel “
Matahari “ karya Tere Liye silahkan klik di sini.
Terima kasih telah membaca “
Matahari “, untuk ebook, buku, novel dan karya menarik yang lainnya,
silahkan kunjungi di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar