Aden duduk di sebelah atas ya. Dan seperti biasa, aden pasti menang!”
teriak Randai pongah, sambil memanjat ke puncak batu hitam yang kami duduki.
Batu sebesar gajah ini menjorok ke Danau Maninjau, dinaungi sebatang pohon kelapa
yang melengkung seperti busur. ”Jan gadang ota. Jangan bicara besar dulu. Ayo
buktikan siapa yang paling banyak dapat ikan,” sahutku sengit. Aku duduk di
bagian batu yang landai sambil menjuntaikan kaki ke dalam air danau yang jernih.
Sekeluarga besar ikan supareh seukuran kelingking tampak berkelebat lincah,
kerlap-kerlip keperakan. Dengan takut-takut mereka mulai menggigiti selasela jari
kakiku. Geli-geli. Hampir serentak, tangan kami mengayun joran ke air yang biru.
Bukan supareh yang kami incar, tapi ikan yang lebih besar seperti gariang atau
kailan panjang. Randai sedang libur panjang dari ITB dan aku baru tamat dari
Pondok Madani di Ponorogo. Ini saat menikmati kembali suasana kampung kami: langit bersih terang,
Bukit Barisan menghijau segar, air Danau Maninjau yang biru pekat, dan angin
danau yang lembut mengelus ubun-ubun.Waktu yang cocok untuk lomba mamapeh atau
memancing, persis seperti masa kecil kami dulu. ”Dapat lagi... dapat lagi!”
teriak Randai sambil melonjaklonjak.
Baca juga
- City of Lost Souls by Cassandra Clare
- Collapse - Runtuhnya Peradaban-peradaban Dunia by JaredDiamond
- Eclipse by Stephenie Meyer
”Eh, Alif, jadi setelah tamat pesantren ini, wa’ang masih tertarik jadi seperti Habibie?” tanya
Randai sambil menepuknepuk betisnya yang dirubung agas. Ini dia. Aku tahu betul
pertanyaan ini pasti akan muncul juga dari mulut Randai. Langsung menikam
perasaanku. Aku menjawab pendek dengan nada yang naik beberapa oktaf, ”Tentulah.
Aden akan segera kuliah. Kalau aden berusaha, ya bisa.” Randai hanya melirikku
sambil tersenyum timpang seperti tidak yakin. Bola matanya berputar malas.
Lagaknya selalu kurang ajar. Aku merasakan pangkal gerahamku beradu kuat. Ujung
joran aku genggam erat-erat. Tiba-tiba aku patah semangat untuk terus memancing
hari ini. Mataku memandang jauh ke awan-awan yang menggantung rendah di
pinggang bukit yang melingkari danau. Pikiranku melayang kembali ketika aku dan
teman-temanku di PM dulu suka melihat awan dan punya impian tinggi. Waktu itu
impianku adalah menjadi seperti Habibie dan belajar sampai ke Amerika. Tapi
lihatlah aku hari ini. Memancing seekor ikan danau pun tidak bisa.
Detail Buku:
Judul : Ranah 3 Warna
Penulis : Ahmad Fuadi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978–979–22–6325–1
Tebal : -
ISBN : 978–979–22–6325–1
Tebal : -
Itulah sekelumit sinospis yang diangkat dalam
novel “ Ranah 3 Warna “, karya terbaru Ahmad Fuadi. Untuk mendownload novel “
Ranah 3 Warna “ karya Ahmad Fuadi silahkan klik di sini.
Terima kasih telah membaca
“ Ranah 3 Warna “, untuk ebook, buku,
novel dan karya menarik yang lainnya, silahkan kunjungi di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar